Selama satu abad, wilayah yang sekarang ditempati Israel dan bangsa Palestina menjadi bara yang tidak pernah padam dan selalu memanaskan konstelasi politik Timur Tengah.
Konflik yang lain datang dan pergi: perang Irak-Iran, perlawanan Afghanistan terhadap pasukan Uni Soviet, invasi Irak ke Kuwait, gempuran pasukan PBB untuk mengusir pasukan Irak dari Kuwait, invasi AS ke Afghanistan, dan invasi Amerika untuk menggulingkan rezim Saddam Hussein.
Saat ini masih berlangsung perang saudara di Suriah dan aksi militer koalisi negara Arab pimpinan Arab Saudi di Yaman.
Namun, tidak ada konflik yang begitu intens dan berkepanjangan seperti konflik Israel-Palestina. Lebih mudah memprediksi bahwa bentrokan pasukan Israel dan kelompok milisi Palestina akan kembali terjadi, daripada mengharap perjanjian damai permanen di antara mereka dalam waktu dekat ini.
Sejarah Satu Abad
Inggris pernah menguasai area yang sekarang dikenal sebagai wilayah Palestina setelah penguasa sebelumnya, Kerajaan Ottoman, dikalahkan dalam Perang Dunia I.
Saat itu, tanah tersebut dihuni oleh minoritas keturunan Yahudi dan mayoritas keturunan Arab.
Ketegangan antara dua kelompok mulai tumbuh setelah masyarakat internasional memberi tugas kepada Inggris untuk mendirikan “rumah nasional” bagi warga Yahudi di Palestina.
Bagi Yahudi, tanah itu milik leluhur mereka, tetapi warga Arab di Palestina juga mengklaim kepemilikan dan menentang pendudukan Yahudi.
Antara dekade 1920-an dan 1940-an, jumlah warga Yahudi yang datang ke wilayah itu makin meningkat, banyak dari mereka yang melarikan diri dari persekusi di Eropa dan mencari Tanah Air sendiri setelah tragedi Holocaust dalam Perang Dunia II.
Bersamaan dengan itu, konflik Arab-Yahudi dan perlawanan terhadap kekuasaan Inggris juga meningkat.
Pada 1947, pemungutan suara di PBB menghasilkan rencana untuk memecah Palestina guna memisahkan warga Yahudi dan Arab, sementara Yerusalem dijadikan kota internasional.
Usulan itu diterima oleh para pemimpin Yahudi, tetapi ditolak kubu Arab, sehingga tidak pernah diterapkan.
Berdirinya Israel
Pada 1948, Inggris yang tidak mampu mengatasi masalah itu akhirnya menyerah dan pergi dari sana. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh para pemimpin Yahudi untuk mendeklarasikan berdirinya negara Israel.
Banyak warga Palestina yang keberatan dengan deklarasi itu dan perang pun meletus. Pasukan dari berbagai negara Arab di sekitarnya melakukan invasi.
Ratusan ribu warga Palestina melarikan diri atau diusir dari rumah mereka dalam peristiwa yang mereka sebut sebagai Al Nakba, atau “prahara”.
Tahun berikutnya, ketika pertempuran berakhir dengan gencatan senjata, Israel sudah menguasai sebagian besar wilayah di sana.
Sementara itu, Yordania menduduki wilayah yang sekarang dikenal sebagai Tepi Barat dan Mesir menguasai Gaza.
Yerusalem terbagi dua antara Barat yang dikuasai Israel dan Timur yang dikuasai pasukan Yordania.
Karena perjanjian damai tidak pernah diraih, mereka yang terlibat konflik saling menyalahkan. Akibatnya, perang kembali meletus sporadis pada dekade-dekade berikutnya.
Salah satu yang paling terkenal adalah perang pada 1967, yang membuat Israel mampu menduduki Yerusalem Timur dan Tepi Barat, sebagian besar wilayah di Dataran Tinggi Golan di perbatasan Suriah, wilayah Gaza, dan Gurun Sinai di Mesir.
Sebagian besar pengungsi Palestina dan keturunan mereka lalu tinggal di Gaza dan Tepi Barat, atau bermigrasi ke Yordania, Suriah, dan Lebanon.
Para pengungsi dan keturunan mereka dilarang pulang oleh Israel, karena khawatir mereka akan mendominasi dan mengancam eksistensi Israel sebagai negara Yahudi.
Israel masih menduduki Tepi Barat, dan meskipun sudah menarik pasukan dari Gaza tetapi PBB masih menganggap area kecil itu sebagai wilayah pendudukan.
Yerusalem
Israel mengklaim Yerusalem secara keseluruhan sebagai ibu kotanya, sementara Palestina mengklaim Yerusalem Timur sebagai ibu kota masa depan negara Palestina. Hanya segelintir negara termasuk Amerika Serikat yang mendukung klaim Israel atas seluruh Yerusalem.
Selama 50 tahun terakhir, Israel telah membangun banyak pemukiman baru yang sekarang ditinggali lebih dari 600.000 warga Yahudi.
Palestina memprotes pemukiman itu sebagai tindakan ilegal menurut hukum internasional dan menjadi penghalang tercapainya kesepakatan damai. Israel selalu membantah.
Ketegangan kerap mewarnai hubungan antara warga Israel dan Palestina yang tinggal di Yerusalem Timur, Gaza, dan Tepi Barat.
Gaza dikuasai oleh kelompok milisi Palestina, Hamas, yang telah sering mengangkat senjata melawan Israel. Israel dan Mesir mengawasi dengan ketat perbatasan Gaza untuk mencegah masuknya pasokan senjata bagi Hamas.
Warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat mengeluhkan pembatasan yang diterapkan Israel, sementara Israel berdalih mereka hanya melindungi diri dari kekerasan oleh warga Palestina.
Konflik terakhir dipicu oleh sejumlah bentrokan antara polisi Israel dan warga Palestina pada permulaan Ramadan bulan lalu, dan juga rencana pengusiran keluarga-keluarga Palestina dari Yerusalem Timur.
Masalah Utama
Ada sejumlah masalah pelik yang tidak terpecahkan hingga sekarang sehingga menjadi lahan semai bibit konflik di masa depan.
Masalah-masalah itu antara lain: bagaimana nasib para pengungsi Palestina selanjutnya; apakah pemukiman Yahudi di Tepi Barat harus dipertahankan atau dipindahkan; apakah dua pihak bisa berbagi Yerusalem; dan, yang paling sulit, apakah negara Palestina bisa berdiri berdampingan dengan negara Israel.
Kondisi geografis menyulitkan berdirinya negara Palestina karena wilayahnya terpecah dan dipisahkan oleh teritori Israel seperti dalam peta berikut:
Perundingan damai telah digelar berulang kali selama lebih dari 25 tahun terakhir, tetapi tidak ada yang memberi solusi permanen.
Yang terakhir adalah rencana damai dari Amerika Serikat, saat masih dipimpin Presiden Donald Trump.
Palestina menyebut usulan Amerika sangat berpihak pada Israel, sementara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebutnya sebagai “perjanjian terbesar abad ini”.
Juga di bawah Trump, Amerika mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Bantuan Militer Amerika
Israel menjadi kuat salah satunya karena dukungan tiada henti dari Amerika Serikat.
Komitmen bantuan dana AS bahkan ditetapkan per dekade. Untuk periode 2017-2028 ditetapkan sebesar US$ 38 miliar, diteken pada era Presiden Barack Obama.
Jadi pada 2020, AS memberi Israel US$ 3,8 miliar, nyaris semuanya diwujudkan dalam bentuk bantuan militer.
Juga tahun lalu, AS memberi bantuan US$ 5 juta untuk pemukiman imigran baru. Sejak dahulu Israel punya kebijakan untuk menerima semua orang Yahudi yang datang dari berbagai belahan dunia sebagai warga negaranya.
Bantuan Amerika membuat Israel mampu membangun salah satu kekuatan militer paling tangguh di dunia. Dana yang didapat Israel memungkinkan negara itu untuk membeli sistem persenjataan paling canggih, juga dari Amerika.
Sebagai contoh, seperti diberitakan BBC, Israel telah membeli 50 pesawat tempur modern F-35 yang bisa difungsikan untuk melakukan serangan rudal. Sejauh ini, sudah 27 pesawat tipe itu yang dikirim ke Israel, satunya berharga US$ 100 juta.
Tahun lalu, Israel juga membeli delapan pesawat KC-46A Boeing 'Pegasus' yang berfungsi untuk pengisian bahan bakar di udara, termasuk melayani F-35 dalam misi jarak jauh.
Dari dana tahunan US$ 3,8 miliar yang diterima Israel tahun lalu, sekitar US$ 500 juta digunakan untuk mengembangkan tameng anti rudal bernama Iron Dome dan sistem lain untuk merontokkan roket-roket yang ditembakkan ke Israel.
Jika dirinci, sejak 2011 AS telah menyumbang total US$ 1,6 miliar untuk pengembangan dan pembangunan Iron Dome.
Israel juga membelanjakan jutaan dolar untuk berkolaborasi dengan AS dalam pengembangan teknologi militer baru, misalnya sistem untuk mendeteksi terowongan bawah tanah yang dipakai para penyusup masuk ke wilayah Israel.
Sadar oleh ukurannya yang relatif kecil dibandingkan negara-negara lain di Timur Tengah, pemerintah Israel memanfaatkan bantuan itu untuk investasi besar-besaran dalam peralatan dan pelatihan militer.
Sejak Perang Dunia II, Israel adalah penerima terbesar bantuan luar negeri AS.
Namun pada 2019, menurut lembaga USAID, Israel nomor dua setelah Afghanistan dalam jumlah bantuan dari Amerika.
Dana yang masuk Afghanistan digunakan untuk membiayai upaya militer AS dalam menciptakan stabilitas di sana, yang selalu terlibat konflik sejak invasi AS pada 2001.
Pasukan AS dijadwalkan hengkang dari Afghanistan pada September tahun ini, dan hanya ada permintaan bantuan dana sebesar US$ 370 juta untuk tahun fiskal 2021.
Mesir dan Yordania juga penerima bantuan AS dalam jumlah besar. Dua negara itu telah memiliki perjanjian damai dengan Israel, lawan mereka dalam perang terdahulu.
Kenapa Amerika begitu Sayang Israel?
Ada sejumlah alasan yang membuat AS bersedia memberi begitu banyak bantuan untuk Israel, termasuk komitmen bersejarah ketika AS mendukung berdirinya negara Yahudi itu pada 1948.
Selain itu, Israel dianggap sebagai sekutu utama AS di Timur Tengah karena punya tujuan sama dan komitmen untuk nilai-nilai demokrasi.
Menurut lembaga riset Kongres AS, bantuan luar negeri AS merupakan komponen utama untuk menjaga dan melaksanakan hubungan seperti ini.
"Para pejabat dan anggota parlemen AS sejak lama menganggap Israel sebagai mitra penting di kawasan itu," demikian ditulis.
Sementara itu, lembaga bantuan luar negeri AS menulis: “Bantuan AS membantu memastikan bahwa Israel tetap memiliki keunggulan militer kualitatif (qualitative military edge/QME) dari potensi ancaman regional.”
"Bantuan AS bertujuan untuk memastikan bahwa Israel mampu mengambil langkah historis yang diperlukan guna meraih kesepakatan damai dengan warga Palestina dan demi perdamaian regional yang komprehensif,” imbuhnya.
Siapa pun presiden AS, baik dari Partai Republik atau Partai Demokrat, salah satu dasar kebijakan luar negeri mereka adalah memastikan bahwa Israel bisa mempertahankan dirinya sendiri melawan semua ancaman di kawasan.
Seorang bocah laki-laki ikut berbaris bersama para anggota Brigade Al-Qassam, sayap militer kelompok Hamas, dalam pawai di Gaza City pada 24 Mei 2021. (AFP).
Ancaman Terbesar Bukan Hamas
Kelompok Hamas adalah yang paling sering memaksa militer Israel bergerak dalam satu dekade terakhir. Namun, melihat sikap Israel selama ini, Hamas tidak dilihat sebagai ancaman paling berbahaya.
Lalu siapa?
Di kawasan itu juga ada Iran, negara yang punya kemampuan mengembangkan senjata nuklir dan pernah mengatakan akan “membumihanguskan Israel”.
Israel dan Iran sudah lama terlibat dalam konflik diam-diam dan perang tanpa deklarasi, menjadikan dua negara sebagai musuh bebuyutan yang sebenarnya.
Sebagai contoh, Iran menyalahkan Israel atas ledakan misterius yang menghancurkan fasilitas pengayaan uranium di Natanz.
Israel tidak secara terbuka mengakui peristiwa yang oleh Iran disebut sebagai “tindakan sabotase” itu, tetapi media AS dan Israel mengutip para sumber yang mengatakan serangan itu dilakukan oleh lembaga intelijen Israel, Mossad.
Iran mengumumkan tekadnya untuk melakukan tindakan balasan “pada waktu yang kami tentukan sendiri".
Insiden itu tidak berdiri sendiri. Sebelumnya sudah ada pola permusuhan dan tindakan saling balas yang membuat konflik dua negara makin jelas, tetapi masing-masing bersikap hati-hati untuk menghindari konflik habis-habisan yang akan sangat destruktif bagi mereka sendiri.
Program Nuklir Iran
Israel tidak pernah percaya klaim berulang dari Iran bahwa program nuklirnya semata untuk keperluan sipil.
Israel selalu yakin bahwa Iran secara rahasia berusaha mengembangkan hulu ledak nuklir dan sistem peluncuran rudal balistik.
Pandangan Israel soal Iran tercermin dari pernyataan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu saat menjamu Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin awak bulan ini.
"Di Timur Tengah, tidak ada ancaman yang lebih serius, lebih berbahaya, dan lebih berat daripada ancaman yang dilancarkan oleh rezim fanatik di Iran," kata Netanyahu.
Duta Besar Israel untuk Inggris, Tzipi Hotovely, juga mengatakan hal serupa.
"Iran tidak pernah berhenti bekerja untuk mengembangkan senjata nuklir dan rudal yang mampu mengangkutnya. Ambisi Iran pada senjata nuklir adalah ancaman bagi seluruh dunia," kata Hotovely dikutip BBC.
Dengan keyakinan itu, Israel kerap melakukan tindakan rahasia dan sepihak yang ditujukan untuk memperlambat atau melumpuhkan program nuklir Iran.
Misalnya, Israel mengembangkan virus komputer bernama Stuxnet pada 2010 untuk melumpuhkan sentrifugal Iran.
Sejumlah ilmuwan nuklir Iran tewas dalam berbagai peristiwa misterius dan muncul dugaan Israel berada di balik itu semua.
Perang saudara di Suriah dalam 10 tahun terakhir membuka jalan bagi masuknya para “penasihat militer” dari Garda Revolusi Iran yang bekerja sama dengan kelompok Hezbollah di Lebanon untuk memberi dukungan pada Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Dalam sejumlah kasus, pasukan Garda Revolusi berada sangat dekat dengan kawasan Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel.
Israel mewaspadai pasokan roket dan rudal presisi dari Iran ke lokasi yang memiliki jarak tembak ke kota-kota di Israel. Beberapa kali Israel menyerang pangkalan rudal dan jalur pasokannya di Suriah, sementara Iran relatif tidak membalas – sejauh ini.
Suriah dan Lebanon memberi opsi bagi Iran agar rudalnya bisa menjangkau Israel, tetapi ini tindakan yang sangat riskan. Israel sudah menunjukkan bagaimana mereka akan merespons jika diserang dan akan langsung mendatangi Iran jika itu memang terjadi.
Apa itu Zionisme?
Kembali ke konflik Israel-Palestina, ini ibarat sisi dua mata koin yang tak bisa dipisahkan dari paham zionisme. Secara sederhana, zionisme dimaknai sebagai gerakan pulangnya “diaspora” kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia untuk kembali bersatu sebagai sebuah bangsa, dengan Palestina sebagai tanah airnya, dan Yerusalem sebagai ibukota negaranya.
Zionisme sendiri berasal dari kata Ibrani, “zion”, yang artinya karang. Kata itu merujuk pada sebuah bukit karang bernama Zion, di sebelah barat daya Yerusalem.
Sedangkan diaspora dimaksud adalah kondisi tercerai berainya suatu bangsa yang tersebar di seluruh penjuru dunia, dan bangsa tersebut tidak punya negara. Kondisi inilah yang sempat dialami bangsa Yahudi, sebelum terbentuknya negara Israel pada 1948.
Paham zionisme ini yang menjadi akar penyebab pertumpahan darah tak berkesudahan di tanah Palestina. Gagasan tentang gerakan zionisme, yaitu suatu gerakan politik untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina, mulai memperlihatkan konsepnya yang jelas melalui inisiatif Theodore Herzl (1860-1904), seorang jurnalis Austria berdarah Yahudi. Dialah yang disebut sebagai Bapak Pendiri Zionisme modern.
Herzl dan teman-temannya menyusun sebuah propaganda, yang intinya menjadikan kaum Yahudi sebagai ras terpisah dari Eropa. Namun, disadari bahwa propaganda ini mustahil terwujud jika bangsa Yahudi masih tinggal bersama-sama bangsa Eropa. Karenanya, dirasa urgen untuk membangun kembali tanah air bagi kaum Yahudi.
Herzl awalnya memilih Uganda, sebelum akhirnya pilihan jatuh ke Palestina. Alasannya, Palestina adalah “tanah yang dijanjikan Tuhan” sehingga tepat dijadikan tanah air bagi Yahudi.
Lantas, mengapa Yahudi merasa perlu mencari tanah air sendiri? Berdasarkan sejarah di masa lampau, Yahudi pernah mengalami masa keemasan.
Namun kemudian, bangsa Yahudi mengalami pengusiran yang penuh dengan perbudakan dan penyiksaan. Salah satu puncaknya adalah era kekejaman Nazi pimpinan Adolf Hitler, yang melakukan pembersihan etnis. Kondisi itulah yang mendorong bangsa Yahudi akhirnya mencari tanah air, dan mengembangkan paham zionisme.
Hingga tahun 1914, di Palestina hidup sekitar 1.200 orang Yahudi. Setelah kekalahan kekhalifahan Usman pada Perang Dunia I, Palestina menjadi ajang permainan Inggris, Amerika Serikat, dan kaum zionis.
Pada 1917, Menteri Luar Negeri Inggris Lord Balfour menandatangani Deklarasi Balfour, yang intinya membangun negara zionis di Palestina. Sebulan kemudian tentara Inggris masuk ke Yerusalem, dan tahun berikutnya gabungan negara-negara menyerahkan mandat Palestina ke Inggris.
Hal itu memungkinkan Inggris untuk mendatangkan 75.000 orang Yahudi ke Palestina.
Di sisi lain, negara-negara Arab menolak rencana berdirinya negara Yahudi di Palestina, tetapi tak kuasa menolak rencana tersebut. Penolakan itu sia-sia karena eksodus Yahudi dibantu Inggris.
Bendera Israel berkibar di depan sebuah masjid di kota Yerusalem pada 1 Desember 2017. (AFP)
Yahudi vs Zionisme Zionisme muncul pada abad ke-19 di Eropa. Saat itu berkembang dua ciri menonjol, yakni rasisme dan kolonialisme, dan keduanya merasuk pula ke zionisme. Ciri utama lain dari zionisme, menurut sejumlah literatur, bahwa paham ini jauh dari agama.
Orang-orang Yahudi, yang merupakan mentor ideologis utama dari zionisme, memiliki keimanan yang lemah terhadap agama mereka. Mereka menganggap agama Yahudi bukan agama, melainkan sebuah ras.
Tak hanya itu, zionisme mengklaim bahwa bangsa Yahudi adalah “bangsa pilihan” yang lebih unggul dari manusia yang lain. Akibat dari pemahaman itu, kaum zionis merasa berhak melakukan kekejaman atas bangsa lain. Ideologi rasis inilah yang masuk ke dalam agenda yang diusung Theodor Herzl di penghujung abad ke-19.
Kehadiran zionisme di Timur Tengah pada akhirnya tidak mendatangkan apa pun selain pertikaian demi pertikaian. Pada 1948, menyusul didirikannya negara Israel, strategi perluasan wilayah zionisme menyeret seluruh Timur Tengah ke dalam kekacauan.
Dengan demikian, pangkal tolak zionisme dengan segala kekerasan yang ditimbulkannya bukanlah agama Yahudi, tetapi Darwinisme sosial, sebuah ideologi rasis dan kolonialis, warisan abad ke-19. Darwinisme sosial meyakini adanya perjuangan atau peperangan yang terus-menerus di antara masyarakat manusia. Yang kuat akan menang dan yang lemah pasti kalah.
Zionisme, pada kenyataannya adalah suatu bentuk fasisme, dan fasisme tumbuh dan berakar pada pengingkaran terhadap agama, bukan dari agama itu sendiri. Karenanya, yang sebenarnya bertanggung jawab atas pertumpahan darah di Timur Tengah bukanlah agama Yahudi, melainkan zionisme, sebuah ideologi fasis yang tidak berkaitan sama sekali dengan agama.
Zionesme Beda dengan Yahudi
Dampak dari muatan yang sarat dengan kekerasan itu memicu penentangan terhadap ideologi zionis tak hanya dari umat Muslim, tetapi juga kaum Nasrani dan Yahudi sendiri. Banyak cendekiawan Yahudi yang mengkritik kekerasan Israel terhadap Palestina dan menyatakan perdamaian hanya bisa dicapai jika Israel menyingkirkan ideologi zionisnya.
Tak hanya itu, penentangan terhadap kezaliman juga datang dari tentara Israel. Penyerbuan ke Lebanon di tahun 1982, misalnya, diwarnai penolakan sekelompok kecil tentara Israel. Mereka tidak ingin menjadi bagian dari penyerbuan terhadap orang-orang sipil Lebanon.
Dengan demikian jelas bahwa tidak semua orang Yahudi setuju dengan Israel beserta kelalimannya. Dengan kata lain, tidak semua orang Yahudi adalah zionis.
Melihat kenyataan tersebut, zionisme sebenarnya justru membahayakan agama Yahudi dan masyarakat Yahudi di seluruh dunia. Paham itu menempatkan warga Israel atau Yahudi diaspora sebagai sasaran orang-orang yang ingin membalas kekejaman zionisme.
Adalah mendiang Yasser Arafat, salah satu tokoh yang tidak ingin terjebak oleh pandangan sempit zionis-Yahudi. Mantan pemimpin tertinggi Palestina itu tidak ingin orang-orang Yahudi, yang justru mendukung perjuangannya ikut dikorbankan, karena disamakan dengan Zionis.
Arafat kenyang dengan pengalaman berinteraksi positif bersama orang Yahudi yang bersimpati dengan nasib rakyat Palestina. Misalnya, Neta Golan dan sejumlah pemuda Yahudi yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas Internasional (International Solidarity Movement). Mereka rela menjadi tameng hidup sewaktu tentara Israel mencoba mengepung Istana Arafat. Selama 34 hari Neta, perempuan berdarah Yahudi itu bertahan di Muqatta, kantor pusat pemerintahan Palestina di Ramallah, pada 2002.
Masih ada lagi kisah “pembangkangan” 27 pilot tempur Israel. Mereka menolak perintah yang dianggap amoral, yakni menyerang warga sipil Palestina.
Dari penjelasan fakta tersebut, perlu untuk membedakan zionisme dan Yahudi. Selama ini, seolah-olah muncul penyederhanaan pemahaman bahwa zionisme identik dengan Yahudi.
Generalisasi yang simplistis semacam itu, sebagaimana juga mengidentikkan Islam sebagai teroris, adalah sebuah jebakan yang tak membangun peradaban manusia. Hal tersebut juga menutup celah untuk dapat meneropong konflik dari sudut pandang yang sebenarnya, dan hanya menyisakan ruang bagi respons emosional dan sporadis, sekaligus memperkecil ruang penyelesaian yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.
Sumber: Dari berbagai sumber