Mohsen adalah sosok ilmuwan nuklir sekaligus Kepala Organisasi Penelitian dan Inovasi Kementerian Pertahanan Iran yang tewas pada Jumat (27/5).
Sejumlah spekulasi mengenai kronologi kematiannya diberitakan secara simpang siur oleh media Iran.
Dilansir Iran Primer, sejak revolusi Islam 1979, konflik Iran-Israel secara bertahap telah berkembang secara geografis dan strategis.
Hubungan Israel dan Iran
Hubungan Iran dengan Israel tidak begitu rumit. Setelah Israel merdeka pada 1948, kedua negara sempat mengembangkan hubungan karena alasan strategis dan ekonomi.
Pada 1950-an, sebagai bagian dari "doktrin pinggiran (periphery doctrine)" Perdana Menteri David Ben-iurion, Israel mulai membina hubungan dengan negara-negara non-Arab dan etnis minoritas.
Kedua negara juga memiliki hubungan yang kuat dengan Amerika Serikat dan menentang upaya Soviet untuk mendapatkan pengaruh di wilayah tersebut.
Iran menjadi importir terbesar senjata Israel sekaligus mengekspor minyak ke negara tersebut. Israel pun memiliki misi diplomatik di Teheran. Selama tiga dekade, antara 1948-1978, hubungan mereka terjalin baik.
Tapi hubungan tiba-tiba pecah setelah monarki digulingkan pada 1979. Rezim teokratis baru Iran memberi AS label sebagai "Setan Besar" dan melabeli Israel sebagai "Setan Kecil". Rezim Iran juga meninggalkan Israel dan mendukung perjuangan Palestina.
Ketegangan semakin terasa setelah Israel menginvasi Libanon pada 1982. Saat itu, Operasi Perdamaian untuk Galilea berusaha memaksa sekutu Iran, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), keluar dari Libanon.
Teheran lalu mengirim sekitar 1.500 penasihat Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) ke Lembah Bekaa bagian timur Libanon. Mereka tidak menghadapi Israel, tapi justru memobilisasi, melatih, dan melengkapi milisi bawah tanah yang berkembang menjadi Hizbullah.
Hizbullah telah melambangkan strategi besar Iran untuk menciptakan kekuatan proksi di seluruh Timur Tengah guna mempromosikan kepentingan dan ideologi Iran.
Setelah PLO dipaksa menarik diri dari Beirut pada 1982, Hizbullah secara bertahap mengambil peran sebagai kekuatan utama untuk melawan Israel.
Pada 1983, Hizbullah memelopori penggunaan bom bunuh diri untuk mengusir pasukan Barat dan Israel dari Libanon.
Pengeboman pertama terhadap Israel terjadi pada 4 November 1983, ketika sebuah mobil yang membawa 600 kilogram bahan peledak memasuki markas Pasukan Pertahanan Israel (IDF) di selatan Tyre dan menewaskan 28 orang Israel.
Sepanjang 1990-an, Hizbullah terus terlibat dalam peperangan intensitas rendah dengan IDF dan Tentara Libanon Selatan. Pada tahun 2000, lebih dari 900 tentara Israel tewas di Libanon.
Kemudian pada Mei 2000, Israel secara sukarela menarik diri dari Libanon selatan. Ini adalah pertama kalinya Israel menyerahkan wilayah Arab tanpa perjanjian damai.
Selama empat dekade terakhir, Iran menghindari perang besar-besaran dengan Israel atas Palestina, tapi pihaknya juga berulang kali memperingatkan konsekuensi serius jika Israel menyerang Republik Islam.
Setiap dekade pula, permusuhan antara Iran dan Israel kian meningkat. Iran mengumpulkan semakin banyak mitra atau proksi dengan senjata yang semakin canggih.
Titik nyala konflik juga kian bertambah dari segi volume dan skala.
Ditambah lagi, penarikan Presiden Donald Trump secara sepihak pada Mei 2018 dari kesepakatan nuklir Iran 2015 telah memantik ketidakstabilan di kawasan tersebut.
Ancaman ketegangan antara Iran-Israel tahun ini kembali muncul pertama kali pada Februari. Saat itu Iran mengancam akan menghancurkan Israel jika mereka terus-menerus mengganggu kepentingan Teheran di Suriah dan kawasan Timur Tengah.
Ancaman itu muncul menyusul serangan yang diluncurkan pesawat tempur Israel ke sejumlah basis pasukan dan kelompok milisi pendukung Iran di Suriah hingga mengakibatkan 12 orang tewas.
Ancaman tersebut lantas langsung disahuti oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Dia menyatakan Israel bisa bertindak langsung melawan Iran, bukan hanya para sekutunya di Timur Tengah.